Oleh: Sumardi
(Praktisi Audit dan Mahasiswa S3 Manajemen SDM Universitas Negeri Jakarta)
Judul tulisan di atas terkesan jorok dan sangat tidak intelektual. Namun tunggu dulu jangan terburu-buru mengadili judul tulisan tersebut. Don’t judge book by its cover nampaknya perlu direnungkan dalam opini penulis kali ini.
Dalam konteks tata kelola sumber daya aparatur baik di instansi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, judul tulisan di atas masih mempunyai “hubungan saudara” dengan opini penulis sebelumnya. Pada sebagian besar pemerintah daerah dan sebagian instansi pemerintah pusat tata kelola birokrasi layaknya sebuah “tarian poco-poco”. Maju, mundur kemudian berputar. Maju, mundur lalu berputar lagi begitulah terus-menerus dan berulang-ulang. Pada akhirnya tata kelola birokrasi tidak ada kemajuan sama sekali bahkan yang terjadi adalah sebuah kemunduran dibandingkan dengan masa diberlakukannya close system.
Baca juga:
Pura-Pura Budayawan
|
Secara kasat mata dapat kita saksikan pasca dilantiknya Kepala Daerah terjadi “genoside masif” terhadap jabatan para Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Eselon III dan IV bahkan sampai kepada Kepala SD, SMP dan SMA juga Kepala Puskesmas. Sebuah serial drama dipertontonkan dalam hajatan promosi, mutasi dan demosi para PNS yang dibungkus dengan peningkatan kinerja dan percepatan untuk mewujudkan Visi Kepala Daerah terpilih. Balas jasa dan balas dendam pasca pilkada terjadi sebagaimana sejarah kelam nan Panjang dendam turun-temurun di Kerajaan Singasari yang melibatkan Empu Gandring, Ke Arok, Tunggul Ametung dan Anusapati beserta keturunannya. Deskripsi tata kelola birokrasi yang sakit parah saat ini penulis yakini tidak akan mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan Indonesia manakala tidak diberikan obat kuat sehingga mampu mewujudkan birokrat yang kuat dan hebat sehingga mampu tegak lama berdiri perkasa.
Kompetensi, kinerja serta kualifikasi selalu menjadi ukuran atau indikator utamanya bukan ukuran yang lain seperti kedekatan dan banyaknya jasa /sumbangan yang telah diberikannya. Terdapat minimal tiga “obat kuat” untuk keluar dari sengkarut tata kelola SDM aparatur saat ini sehingga cita-cita untuk mewujudkan Indonesia Unggul, Indonesia Tumbuh dan Birokrasi Kelas Dunia dapat segera tercapai. Pertama, perubahan dari Pejabat Pembina Kepagawaian (PPK) semula dipegang oleh Kepala Daerah menjadi dipegang oleh Sekretaris Daerah baik Provinsi, Kabupaten atau Kota. Demikian juga di tingkat Kementerian/LPNK semula dipegang oleh Menteri dan Kepala LPNK menjadi dipegang oleh Sekretaris Jenderal, Sekretaris Utama dan Sekretaris Menteri. Perubahan besar ini penting untuk memutus mata rantai pengaruh politik masuk dalam ranah PNS.
Penulis yakin bahwa perubahan kebijakan ini akan membuat politisasi birokrasi sangat jauh berkurang dibandingkan kondisi saat ini. Tidak hanya berhenti disini saja langkah berikutnya adalah wajib hukumnya seorang Sekjen, Sestama, dan Sesmen serta Sekretaris Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) diangkat atau diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara. Dengan kondisi ideal ini maka tertutup pintu masuk pejabat politik (Kepala Daerah dan Menteri) masuk dengan leluasa ke ranah PNS untuk mengintervensi dengan segala kemauannya. Hal ini tentu saja hanya akan dapat terwujud dengan melakukan perubahan atau revisi ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendelegasian Presiden selaku Pembina Kepegawaian tertinggi sebagaimana diatur di Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Kedua, perubahan dari sistem pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadasung) kembali ke pemilihan Kepala Daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau Sistem Perwakilan.
Sesungguhnya dua sistem baik langsung maupun melalui perwakilan merupakan sama-sama metode dalam berdemokrasi dan sah-sah saja mana jalan yang akan ditempuh oleh bangsa ini. Diantara dua metode tersebut mengandung kelebihan dan kelemahannya masing-masing.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pilkada langsung dalam memilih Kepala Daerah mempunyai dampak yang sangat buruk yang tidak dihindari dalam tatanan masyarakat secara keseluruhan. Fakta di lapangan memberi bukti adanya pilkada langsung masyarakat terkotak-kotakan dengan pilihan dan dukungannya masing-masing. Saudara bisa menjadi seteru atau musuh dan sebaliknya yang tadinya tidak kenal sama sekali menjadi saudara karena disatukan oleh kepentingan yang sama dalam aksi dukung mendukung sejak proses awal kontestasi pilkada. Belum lagi hiruk pikuk keributan yang menimbulkan suasana tidak kondusif dalam hajatan lima tahun sekali ini.
Selain itu munculnya dinasti politik baru dimana Kepala Daerah dipegang oleh kakek, nenek, ayah, ibu, anak dan mertua dalam suatu “trah” tertentu atas nama demokrasi dengan menihilkan kematangan dalam leadership dan pengalaman dalam pemerintahan. Tidak ada persyaratan kompetensi dalam setiap pencalonan Kepala Daerah.
Nampaknya kekuatan modal justru faktor sangat penting dalam pencalonan dan kemenangan dalam pilkada. Pilkada langsung juga membutuhkan biaya yang besar bagi calon Kepala Daerah sehingga tidak aneh jika kemudian setelah menjadi Kepala Daerah definitive APBD, Dana Pusat, dan sektor perizinan serta lowongan jabatan menjadi “gadis seksi yang setiap saat dilirik, dipacari dan diselingkuhi” setiap saat.
Penulis yakin perubahan kembali pemilihan Kepala Daerah dengan Sistem Perwakilan akan meniadakan atau paling tidak mengurangi secara signifikan dampak buruk tersebut di atas.
Ketiga, penguatan Lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi jika bangsa ini menginginkan terwujudnya birokrasi kelas dunia di Tahun 2024. Tentu saja tugas, fungsi dan wewenangnya dilakukan dengan selalu bersinergi bersama-sama dengan Kementerian, LPNK dan Pemerintah Daerah terkait.
Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 bahwa KASN diberikan wewenang untuk menerbitkan rekomendasi yang sifatnya final terkait dengan pelanggaran dalam tata kelola PNS namun demikian ketentuan tersebut tidak membekali KASN untuk memberikan sanksi bagi PPK yang melakukan pelanggaran.
Baca juga:
Kesehatan Mental Tanggung Jawab Bersama
|
Tindakan maksimal yang dapat dilakukan oleh KASN hanyalah melaporkan ke Presiden. Disinilah titik lemah permasalahan tidak efektifnya rekomendasi yang dberikan oleh Komisi ASN. Oleh karena KASN wajib hukumnya diperkuat tugas, fungsi dan wewenangnya dalam pengawasan baik preventif maupun represif. Selain itu juga perlu diperkuat secara kelembagaan dan juga kecukupan sumber daya manusia baik secara jumlah maupun kompetensinya.
Hampir-hampir sebuah imposible mission dengan kekuatan dan sumber daya yang dimiliki KASN saat ini mengawasi ASN di seluruh republik tercinta. Namun demikian keberadaan KASN sampai dengan saat ini tidak perlu diragukan lagi. Sudah ribuan seleksi terbuka difasilitasi walaupun dalam proses di lapangan belum semua berjalan dengan seharusnya. Lembaga Non Struktural yang baru seumuran anak SD ini tentu sangat tidak fair jika dituntut sebagaimana layaknya kementerian atau lembaga yang telah berumur puluhan tahun.
Sudah ribuan PNS dikembalikan ke jabatannya karena diberhentikan oleh PPK dengan cara melanggar ketentuan Sistem Merit dan Azas Netralitas. Sudah ratusan kementerian/LPNK dan Pemda yang difasilitasi untuk implementasi Sistem Merit sehingga tata kelola PNS menjadi lebik baik. Berbagai upaya meniadakan KASN secara kelembagaan atau fungsi hanya akan memperlama tarian poco-poco itu berlangsung, bangsa ini tidak akan maju-maju dari sisi SDM aparatur, bahkan mimpi mewujudkan birokrasi professional hanyalah sekedar mimpi.
Untuk minum tiga obat kuat tersebut di atas diperlukan prasyarat utama yaitu adanya kemauan dan komitmen yang super kuat dari Pemerintah dengan DPR untuk melakukan perubahan besar dengan mengubah peraturan perundang-undangan yang terkait saat ini. Penulis haqqul yakin hanya itu obatnya tidak ada obat mujarab lain. Rasa, jiwa dan karsa kenegarawan sangat ditunggu dari para elite di negeri ini untuk melakukan perubahan agar Indonesia lebih baik. Semoga.